Kenapa Suami Suka Marah Tanpa Sebab
Mengenal BPD dan Gejala Lainnya
Gangguan ini bisa menyebabkan pengidapnya mengalami penurunan kualitas hidup, Salah satunya dalam menjalin hubungan dalam keluarga, teman, dan lingkungan pekerjaan. Gangguan ini umumnya muncul pada periode menjelas usia dewasa. Dengan penanganan berupa psikoterapi dan pemberian obat, borderline personality disorder dapat diatasi seiring dengan bertambahnya usia.
Gejala gangguan kepribadian ini biasanya muncul pada usia remaja menjelang dewasa dan dapat bertahan hingga usia dewasa. Gejala yang muncul dapat berupa gejala yang ringan hingga berat. Gejala tersebut dapat digolongkan menjadi empat bagian, yaitui:
Namun, tidak semua pengidap BPD mengalami seluruh gejala tersebut. Sebagian hanya mengalami beberapa gejala. Tingkat keparahan, frekuensi, serta durasi terjadinya gejala bisa berbeda-beda pada setiap pengidap yang tergantung pada kondisi gangguan yang dialami.
Baca juga: Borderline Personality Disorder Bisa Sebabkan Mood Naik Turun
Sementara itu, penyebab pasti borderline personality disorder belum dapat diketahui dengan jelas. Beberapa faktor yang diduga dapat memicu terjadinya kondisi ini adalah:
Faktor-faktor di atas dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami BPD. Namun, bukan berarti seseorang pasti akan mengalami gangguan kepribadian BPD jika memiliki faktor risiko tersebut. BPD juga tidak mustahil dialami oleh seseorang yang tidak memiliki satu pun dari faktor risiko di atas.
Di samping itu, jika tidak mendapatkan pengobatan yang sesuai, pengidap borderline personality disorder (BPD) berisiko mengganggu berbagai aspek dalam kehidupan pengidap. Gangguan BPD bisa menyebabkan pengidapnya kesulitan dan mengalami hubungan sarat konflik, sehingga mengakibatkan stress, depresi, penyalahgunaan obat terlarang, gangguan kecemasan, hingga keinginan bunuh diri.
Baca juga: 4 Faktor Risiko pada Remaja yang Bisa Terkena Borderline Personality Disorder
Jika kamu melihat terdapat gejala gangguan BPD ini pada keluarga atau temanmu, sebaiknya segera diskusikan dengan dokter melalui aplikasi Halodoc. Diskusi dengan dokter di Halodoc dapat dilakukan via Chat atau Voice/Video Call kapan dan di mana saja. Saran dokter dapat kamu terima dengan praktis dengan download Halodoc di Google Play atau App Store sekarang juga!
Halodoc, Jakarta – Marah merupakan salah satu cara untuk meluapkan emosi negatif. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan meluapkan emosi melalui kemarahan, selama dilakukan dalam batas yang wajar. Namun hati-hati jika hal ini terlalu sering dilakukan, apalagi tanpa alasan yang tidak jelas. Suka marah-marah tanpa alasan yang jelas bisa menjadi salah satu tanda gangguan BPD, apa itu? Simak pembahasannya di bawah ini!
Sering marah-marah bisa menjadi gejala gangguan BPD (borderline personality disorder) atau gangguan kepribadian ambang. Kondisi ini merupakan gangguan mental yang ditandai dengan suasana hati serta citra diri yang sering berubah-ubah dan perilaku yang impulsif. Seseorang yang mengalami BPD memiliki cara pikir, cara pandang, serta perasaan yang berbeda dibanding orang lain pada umumnya.
Baca juga: Ini yang Terjadi pada Pengidap Borderline Personality Disorder
Halodoc, Jakarta – Marah merupakan salah satu cara untuk meluapkan emosi negatif. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan meluapkan emosi melalui kemarahan, selama dilakukan dalam batas yang wajar. Namun hati-hati jika hal ini terlalu sering dilakukan, apalagi tanpa alasan yang tidak jelas. Suka marah-marah tanpa alasan yang jelas bisa menjadi salah satu tanda gangguan BPD, apa itu? Simak pembahasannya di bawah ini!
Sering marah-marah bisa menjadi gejala gangguan BPD (borderline personality disorder) atau gangguan kepribadian ambang. Kondisi ini merupakan gangguan mental yang ditandai dengan suasana hati serta citra diri yang sering berubah-ubah dan perilaku yang impulsif. Seseorang yang mengalami BPD memiliki cara pikir, cara pandang, serta perasaan yang berbeda dibanding orang lain pada umumnya.
Baca juga: Ini yang Terjadi pada Pengidap Borderline Personality Disorder
Jangan Pernah Takut untuk Pergi
Perempuan sering kali takut meninggalkan pertengkaran yang memanas karena tahu betul bahwa itu mungkin berakhir dengan kekerasan fisik. Meskipun terbukti bahwa kamu menghargai pasangan, kamu harus lebih memperhatikan keselamatan diri sendiri dan pergi tepat waktu sebelum pertengkaran itu berujung pada perkelahian.
Jika kamu telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan seksual dalam pernikahan, maka kamu harus menghubungi pihak berwenang setempat untuk meminta bantuan. Jangan pernah takut berjalan menjauh dari situasi yang buruk, karena kamu dapat membangun kembali hidup menjadi lebih bahagia.
Halo, terima kasih untuk pertanyaannya.
Kami dapat memahami kebingungan dan ketakutan anda menghadapi situasi tersebut. Banyak faktor yang memicu perilaku tersebut sehingga dibutuhkan pemeriksaan lebih dalam.
Untuk membina hubungan sehat dan membangun cinta diperlukan pula membangun pola komunikasi yang sehat dan terbuka. Anda dan pasangan perlu saling mengkomunikasikan kondisi yang anda alami, sehingga dapat saling memahami pula. Selain itu, upayakan untuk dapat saling mendengarkan tanpa menghakimi. Anda dan pasangan juga dapat saling menghargai, serta saling mendukung menjadi versi terbaik diri masing-masing. Hal tersebut penting untuk diperhatikan karena membina hubungan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya di salah satu pihak saja.
Menghadapi pasangan yang sulit diajak berkomunikasi dan kurang mampu mengelola emosi memiliki tantangan tersendiri. Sebaiknya anda tetap tenang dan tidak mudah terpancing karena hanya akan semakin memperburuk keadaan. Anda dapat menggunakan energi yang anda miliki untuk mengontrol hal yang dapat anda kendalikan (misalnya respon anda terhadap pasangan), daripada fokus pada hal yang tidak dapat anda kendalikan (misalnya perilaku pasangan). Anda juga memiliki hak untuk menetapkan batasan toleransi atas sikap pasangan anda. Jika memang diperlukan untuk mengambil jarak sejenak, maka hal tersebut boleh untuk dilakukan tetapi tetap dikomunikasikan dengan pasangan. Setiap keputusan yang anda ambil, sebaiknya diputuskan dalam kondisi yang tenang dan pikiran yang jernih. Selain itu, anda juga dapat mencari waktu yang tepat untuk membicarakan permasalahan anda dengan pasangan, kemudian bersama-sama mencari solusi yang terbaik.
Jangan ragu untuk memeriksakan diri/ pasangan anda atau melakukan konseling bersama pasangan ke psikolog jika keluhan berlanjut atau bertambah parah agar segera tertangani.
SERAMBINEWS.COM - Dalam kehidupan berumah tangga, tidak selamanya berjalan harmonis dan mulus tanpa adanya cobaan.
Pastilah ada masalah yang menghampiri sebuah rumah tangga, baik dari masalah komunikasi yang tidak baik antara suami dan istri hingga masalah dalam anggota keluarga itu sendiri.
Masalah dalam anggota keluarga misalnya, istri tidak tahan terhadap sikap suami yang suka marah dan tempramental.
Pria dengan temperamen tinggi biasanya akan bereaksi secara berlebihan terhadap situasi ketika dia sedang marah.
Tidak hanya sekali atau dua kali, ada seorang suami yang sering marah-marah hingga istrinya tidak betah lagi tinggal di rumah bahkan ada yang langsung memutuskan untuk bercerai.
Lantas, bagaimana sikap istri menghadapi suami yang suka marah dan tempramental, haruskah istri minta cerai?
Baca juga: Dianggap Sepele! dr Aisyah Dahlan Ungkap Dua Hal Ini Bisa Buat Suami Marah dan Benci pada Istri
Baca juga: 3 Tips Berbicara dengan Orang Tua Menurut Buya Yahya, Harus Perlihatkan Wajah Ceria dan Senang
Baca juga: Menurut Penelitian, Suami Senang Jika Istrinya Minta Uang, dr Aisyah Dahlan: Tapi Mintanya Manja Ya!
Sikap istri dalam menyikapi suami yang suka marah-marah dan memiliki sikap tempramental, Buya menyarankan agar istri tersebut mengoreksi diri terlebih dahulu.
Sebab katanya, bisa saja seorang suami marah atau nekat berbuat dzalim kepada istri karena ketelodoran istri dalam melaksanakan kewajiban kepada suami, atau seorang istri melakukan sesuatu kesalahan yang tidak ia rasa namun amat menyakitkan suami.
"Jika demikian adanya, maka seorang istrilah yang perlu berbenah diri terlebih dahulu sebelum menuntut sang suami berbenah," kata Buya seperti dikutip Serambinews.com dari laman resmi tanya jawab Buya Yahya, Senin (3/1/2022).
Lanjut Buya, cara tersebut merupakan cara pertama yang dapat menyelesaikan masalah dalam berumah tangga antara suami dan istri, namun sering kali dilupakan.
Jika ternyata memang sifat dan perilaku suami adalah dzalim dengan marah tanpa sebab serta melampiaskanya amarah tersebut dengan cara dzalim seperti memukul atau mencaci maki yang menyakitkan, hal yang demikian tentu amat mengganggu keindahan dalam berumah tangga, kata Buya menambahkan.
Jika sikap suami seperti itu, maka seorang istri mempunyai dua pilihan.
Baca juga: 4 Cara Ikhlas Memaafkan Suami yang Selingkuh Menurut dr Aisyah Dahlan Ungkap, Istri Wajib Tahu
Baca juga: Cara Menghadapi Suami yang Selingkuh, Buya Yahya Anjurkan Istri Lakukan Hal Ini untuk Kebaikan
Baca juga: Istri Wajib Tahu! dr Aisyah Dahlan Ungkap Cara Memaafkan Suami yang Telah Berkhianat dan Berbohong
Petama, istri harus bersabar dan berusaha untuk merubahnya dan sungguh ini adalah suatu kemuliaan yang agung.
Kedua sambung Buya, jika memang istri tidak mampu untuk bersabar maka ia bisa minta cerai karena seseorang tidak boleh dipaksa untuk bertahan di bawah kedzaliman.
Sebab salah satu sebab diperkenankannya seorang istri meminta cerai adalah jika ia benar-benar didzalimi suami.
"Wallahu a’lam bish-shawab," pungkas Buya Yahya. (Serambinews.com/Firdha Ustin)
Baca juga berita lainnya
Baca juga: Diperiksa Polda Jabar, Pesan Habib Bahar jika Ditahan, Minta Umat Tetap Berjuang Sampaikan Kebenaran
Baca juga: Suami Bacok Istri saat Berhubungan Badan dengan Sepupu, Si Pria Lompat Lewat Jendela Tanpa Busana
Baca juga: Setahun Lebih Kosong, Jabatan Kepala Bappeda Pidie Dipastikan Segera Diisi
Seri Tanya Jawab Enlightening Parenting
Nara Sumber : Sutedja Eddy Saputra dan Okina Fitriani
Punya suami yang suka marah dan memukul anak? Bagaimana menyikapi dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal yang demikian?
Mari simak poin-poin yang dirangkum dari sesi tanya jawab materi PERAN AYAH dalam Training Enlightening Parenting di Surabaya 7-8 April 2018, bersama nara sumber Sutedja Eddy Saputra dan Okina Fitriani.
Tanya : Suami saya dididik dengan keras oleh orangtuanya dengan hukuman fisik . Salah satunya, pernah kepalanya dibenturkan ke tembok oleh orangtuanya. Ketika menikah, kami sering mengalami perbedaan pendapat dalam hal cara mendidik anak. Suami saya bersikeras bahwa anak harus dikerasi. Saat dia marah dan melakukan hukuman fisik pada anak, saya langsung meng-interupsi, karena saya tak tega pada anak. “Jangan, jangan di pukul!” Begitu saya katakan pada suami. Padahal saya tahu, tidak boleh berbeda pendapat di hadapan anak. Saya sudah memberi tahu suami, tetapi di lain waktu masih saja suami berkeras harus mendisiplinkan anak dengan hukuman fisik. Bagaimana cara mengatasi hal ini ?
Jawab (Sutedja Eddy Saputra ) : Ini masalahnya sangat simple sebenarnya. Seharusnya suami ikut belajar parenting di ruangan ini hari ini. Kalau dia tidak mau belajar, maka tugas istri melakukan persuasi agar suami mau. Memang banyak usaha yang harus dilakukan istri. Ini kasusnya mirip dengan pengalaman saya dulu. Istri saya butuh waktu 2 tahun melakukan upaya persuasi sampai akhirnya saya bersedia belajar parenting, lalu menyadari kesalahan saya.
Selain itu, hal ini terjadi karena belum punya visi misi keluarga yang dibuat dan disepakati bersama. Sama persis dengan pengalaman saya dulu. Saya belum belajar parenting, tidak punya visi misi keluarga, sehingga saya maunya mendidik anak dengan cara saya yang keras, sementara istri sudah tahu bagaimana cara mendidik anak dengan benar.
Kalau sudah ada visi-misi keluarga, artinya sudah ada aturan bagaimana ayah memainkan perannya , bagaimana ibu menjalankan perannya. Apa saja kesepakatan yang harus dijalankan dalam pengasuhan anak.
Lalu, karena istri yang sudah belajar parenting lebih dulu, maka istri harus memberi contoh untuk berubah. “Ini lho contoh mendidik anak dengan cara yang lebih baik. “
Apa bedanya mendidik dengan dan tanpa kekerasan?
Dulu ketika saya mendidik anak dengan keras, anak itu melakukan perlawanan. Mereka tidak langsung nurut. Saya harus marah dulu, harus memukul dulu, baru mereka melakukan apa yang saya inginkan. Tapi ketika saya tidak ada, maka pelanggaran kembali terjadi. Intinya, mereka hanya takut pada saya, bukan taat pada aturan.
Sebaliknya, ketika anak dididik dengan kasih sayang, ketika orangtua dan anak membuat objektif bersama-sama, ternyata mereka bisa jauh lebih berkomitmen. Sehingga mendidik anak menjadi lebih mudah. Mendisiplinkan anak ternyata tidak harus dengan cara kekerasan.
Mbak Okina dan suaminya, Mas Ronny, sangat berhati-hati dalam memilih kata sehingga sangat jarang berkata keras pada anak. Tapi saya lihat sendiri bagaimana hasilnya, karena saya pernah beberapa kali berkesempatan bersama keluarga mereka. Diingatkan dengan kata-kata lemah lembut saja, anaknya sudah mengerti.
Beberapa waktu lalu saat di sebuah sharing session, ada seorang ibu yang bertanya. Anaknya yang masih di usia SD, memukuli teman-temannya. Ternyata, ayah sang anak adalah seorang t*****a yang mendidik anaknya dengan kekerasan, dengan maksud supaya anaknya disiplin. Padahal, sang ayah menerima pendidikan disiplin yang keras itu setelah menjadi t*****a di usia yang sekurang-kurangnya 18 tahun, usia di mana dia sudah siap menerima kedisiplinan dalam pendidikan yang keras seperti itu. Sedangkan anaknya kan masih jauh dibawah itu . Tidak bisa disamakan, mendidik anak-anak usia 7-8 tahun dengan mendidik t*****a yang usianya sudah 18 tahun. Inilah pentingnya orangtua paham ilmu parenting sehingga bisa mendidik anak dengan benar.
Jawab (Okina Fitriani) : Saya tambahkan sedikit ya. Sebenarnya suami yang suka memukul, suami yang perkataan atau ucapannya jelek, bicaranya bad word, itu karena tangki cintanya kosong. Maka tugas siapa mengisi tangki cinta sang suami? Apa sang istri mesti bilang begini,
“Sana! Balik ke orangtuamu sana! Aku nggak mau dekat-dekat kamu! Karena kamu suka memukul anakku!”
Mengenal BPD dan Gejala Lainnya
Gangguan ini bisa menyebabkan pengidapnya mengalami penurunan kualitas hidup, Salah satunya dalam menjalin hubungan dalam keluarga, teman, dan lingkungan pekerjaan. Gangguan ini umumnya muncul pada periode menjelas usia dewasa. Dengan penanganan berupa psikoterapi dan pemberian obat, borderline personality disorder dapat diatasi seiring dengan bertambahnya usia.
Gejala gangguan kepribadian ini biasanya muncul pada usia remaja menjelang dewasa dan dapat bertahan hingga usia dewasa. Gejala yang muncul dapat berupa gejala yang ringan hingga berat. Gejala tersebut dapat digolongkan menjadi empat bagian, yaitui:
Namun, tidak semua pengidap BPD mengalami seluruh gejala tersebut. Sebagian hanya mengalami beberapa gejala. Tingkat keparahan, frekuensi, serta durasi terjadinya gejala bisa berbeda-beda pada setiap pengidap yang tergantung pada kondisi gangguan yang dialami.
Baca juga: Borderline Personality Disorder Bisa Sebabkan Mood Naik Turun
Sementara itu, penyebab pasti borderline personality disorder belum dapat diketahui dengan jelas. Beberapa faktor yang diduga dapat memicu terjadinya kondisi ini adalah:
Faktor-faktor di atas dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami BPD. Namun, bukan berarti seseorang pasti akan mengalami gangguan kepribadian BPD jika memiliki faktor risiko tersebut. BPD juga tidak mustahil dialami oleh seseorang yang tidak memiliki satu pun dari faktor risiko di atas.
Di samping itu, jika tidak mendapatkan pengobatan yang sesuai, pengidap borderline personality disorder (BPD) berisiko mengganggu berbagai aspek dalam kehidupan pengidap. Gangguan BPD bisa menyebabkan pengidapnya kesulitan dan mengalami hubungan sarat konflik, sehingga mengakibatkan stress, depresi, penyalahgunaan obat terlarang, gangguan kecemasan, hingga keinginan bunuh diri.
Baca juga: 4 Faktor Risiko pada Remaja yang Bisa Terkena Borderline Personality Disorder
Jika kamu melihat terdapat gejala gangguan BPD ini pada keluarga atau temanmu, sebaiknya segera diskusikan dengan dokter melalui aplikasi Halodoc. Diskusi dengan dokter di Halodoc dapat dilakukan via Chat atau Voice/Video Call kapan dan di mana saja. Saran dokter dapat kamu terima dengan praktis dengan download Halodoc di Google Play atau App Store sekarang juga!
Mungkin wajar jika kamu ingin menyampaikan kesedihan kepada ibu mertua atau mungkin ipar perempuan. Namun, mungkin saja mereka belum pernah menyaksikan sisi suamimu yang seperti itu. Oleh karena itu, penilaian mereka mungkin kabur dan dalam kasus terburuk, mereka mungkin menolak untuk mempercayaimu ketika kamu berbicara tentang masalah kemarahan suamimu. Oleh karena itu, kamu harus memiliki sistem pendukung dari teman atau kerabatmu sendiri di luar nikah yang dapat kamu percayai.